- Back to Home »
- Info »
- Sejarah kota Semarang
Posted by : Sandiko Djati
Jumat, 05 Oktober 2012
Tanggal 2 Mei mendatang, Kota Semarang akan merayakan hari jadinya yang ke 464. Sudah semestinya jika hari jadi Kota Semarang ini tidak hanya milik pemerintah Kota Semarang, tetapi milik seluruh warga dan elemen masyarakat Kota Semarang. Oleh karena itu semua pihak berharap agar berbagai kemeriahan dan kegiataan yang akan diselenggarakan dapat benar-benar dinikmati dan didukung oleh seluruh warga Kota Semarang. Kota Semarang memiliki pelabuhan (Tanjung Mas) yang terkenal sejak jaman Belanda, dengan demikian Semarang merupakan kota yang ideal sebagai gerbang masuk menuju kota-kota lain di Jawa Tengah. Tak heran bila kemudian Semarang lebih dikenal sebagai kota transit daripada kota wisata, padahal Semarang menyimpan begitu banyak keunikan yang bisa dinikmati.
Potensi wisata di Kota Semarang memang bukan terletak pada obyeknya, tetapi pada nilai kearifan lokal seperti bangunan bersejarah dan bangunan religi. Kota Semarang juga memiliki taman bermain, pemandangan alam dan wisata kuliner yang sangat memikat. Untuk tempat bersejarah yang layak dikunjungi antara lain: Lawang Sewu; Tugu Muda; Museum Mandala Bakti; Museum Ronggowarsito; Museum Jamu Jago; Museum Nyonya Meneer dan Muri. Untuk bangunan religi antara lain seperti Masjid Agung, Gereja Blenduk dan Klenteng Sam Poo Kong. Semarang juga memiliki tempat wisata bermain untuk anak-anak, seperti Wonderia dan Istana Majapahit. Bagi yang gemar melihat keindahan alam, diantaranya dapat berkunjumg ke Goa Kreo, Agro Wisata Sodong serta Kampung Wisata Taman Lele. Untuk menunjang kebutuhan para wisatawan, Kota Semarang juga sudah mempersiapkan hotel dari yang paling murah sampai hotel berbintang. Transportasi yang mudah dan nyaman, biro perjalanan yang siap memandu perjalanan para wisatawan dan kalau berkunjung ke Kota Semarang jangan lupa dengan wisata kuliner dan makanan khasnya, bandeng presto dan wingko babat.
Sekilas
Tentang Sejarah
Kata
sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu Syajarotun yang
berarti pohon kayu. Pohon dalam pengertian ini merupakan simbol
kehidupan, karena terdapat bagian-bagian seperti batang, ranting,
daun, akar, dan buah yang menunjukkan adanya aspek-aspek kehidupan
yang satu sama lain saling berhubungan untuk membentuk sesuatu itu
menjadi hidup. Istilah yang memiliki makna sama dengan
kata syajaratun adalahsilsilah, riwayat atau hikayat, kisah,
dan tarikh.
Sejarah memiliki 3 unsur penting, yakni ruang; waktu dan manusia.
Pembagian sejarah dapat dikategorikan menjadi: sejarah sebagai
peristiwa; sejarah sebagai kisah dan sejarah sebagai ilmu.
Sejarah
sebagai peristiwa memang terkadang selalu diidentikan
dengan orang besardan perang.
Padahal sejarah tidak hanya milik orang
besar,
orang kecil atau rakyat jelatapun seharusnya berhak menjadi aktor
sejarah. Pada kesempatan kali ini akan dipaparkan sebuah peristiwa
sejarah, dimana bukan orang besar yang menjadi aktor sejarahnya,
melainkan para tukang-tukang gerobag.
Peristiwa sejarah ini terjadi dengan latar belakang tahun 1935 di
Kota Semarang. Sebuah peristiwa kerusuhan di Kaligawe tanggal 4
februari 1935 yang melibatkan tukang gerobag dan aparat keamanan Kota
Semarang.
Kronologis
Kejadian Kerusuhan di Kaligawe 4 Februari 1935
Menurut
laporan Residen Semarang (K.J.A.
Orie) pada hari senin tanggal 4 Februari 1935 telah terjadi
penyerangan tukang-tukang gerobag dari desa Genuk terhadap pos polisi
Kaligawe. Desa Genuk adalah desa yang terletak di sebelah timur Kota
Semarang dan termasuk Kabupaten Demak (ketika itu). Pos polisi
Kaligawe terletak di perbatasan Kabupaten Semarang
dan Onderdistrik Genuk,
Kabupaten Demak.
Kerusuhan
itu adalah lanjutan peristiwa yang terjadi pada hari Jumat tanggal 1
Februari 1935. Pada hari itu beberapa orang aparat keamanan Semarang
di perbatasan Kaligawe menghentikan gerobag-gerobag dari desa Genuk
yang akan masuk Semarang, karena pajak gerobag itu belum dipenuhi.
Gerobag-gerobag itu harus kembali pulang atau diproses verbal kalau
meneruskan perjalanan ke Kota Semarang. Mereka diberi kesempatan
untuk membayar pajak sampai tanggal 7 Februari.
Dari beberapa orang peserta kerusuhan yang
tertangkap diperoleh keterangan bahwa tukang-tukang gerobag yang
dilarang masuk Kota Semarang pada hari Jumat tanggal 1 Februari itu,
pada hari Sabtu malam tanggal 2 Februari mengadakan pertemuan di
rumah Sukaeni (seorang mandor gerobag) yang terletak di dukuh
Tanggulangin, Kelurahan Banjardewa. Pertemuan dihadiri oleh sekitar
60 orang. Di antaranya adalah seseorang bernama R. Ahmad yang berasal
dari Cikampek dan datang di dukuh Tanggulangin serta bertempat
tinggal di rumah Sukaeni.
Pada
pertemuan hari Sabtu malam tanggal 2 Februari, Sukaeni memperkenalkan
R. Ahmad sebagai seorang keramat. Selain itu R. Ahmad juga dapat
memberi syaratkepada
tukang-tukang gerobag itu untuk masuk Kota Semarang tanpa membayar
pajak gerobag. Syarat itu
berupa sepucuk surat jimat yang
harus dibawa oleh setiap tukang gerobag yang akan masuk Kota
Semarang. Surat jimat itu
dapat diperoleh dengan memberi imbalan 3 sen. Kalau ada pencegatan
seperti yang terjadi pada tanggal 1 Februari itu, surat jimat itu
harus diperlihatkan. Kalau petugas pajak atau aparat keamanan tidak
dapat membaca surat itu dan tetap melarang meneruskan perjalanan,
maka harus dilawan dengan kekerasan.
Dengan
membawa surat jimat dari
R. Ahmad yang dianggap keramat itu, pada hari Senin tanggal 4
Februari tukang-tukang gerobag itu mencoba masuk Kota Semarang.
Ketika mereka dihentikan di perbatasan Kaligawe oleh aparat keamanan,
mereka mengadakan perlawanan. Mereka tidak diizinkan meneruskan
perjalanan, sekalipun sudah memperlihatkan surat jimat.
Perlawanan itu berakhir dengan membawa 4 orang korban. Beberapa orang
penyerang tertangkap hidup, sisanya melarikan diri ke daerah tambak
di wilayah Kabupaten Demak.
Latar
Belakang Terjadinya Perlawanan Tukang Gerobak terhadap Aparat Kemanan
Kota Semarang
Menurut
laporan Residen Semarang (K.J.A.
Orie), peristiwa Kaligawe pada tanggal 4 Februari itu bukanlah suatu
pemberontakan yang terorganisasi atau terencana. Peristiwa itu adalah
suatu kerusuhan yang meletus karena ketidaktahuan dan karena hati
yang mendongkol.
Tukang-tukang gerobag itu sebenarnya memang sudah membayar pajak
gerobag di Kabupaten Demak, karena domilisi mereka di kabupaten itu.
Mereka tidak tahu kalau harus juga membayar pajak di Kota Semarang,
karena daerah operasi mereka di Kota itu.
Pajak
gerobag rangkap itu sebenarnya juga berlaku bagi semua gerobag di
sekitar Kota Semarang yang daerah operasinya di kota itu, semisal
gerobag dari daerah Kendal, Mranggen dan Ungaran. Namun reaksi hanya
timbul dari tukang-tukang gerobag Genuk. Reaksi ini ada hubungannya
dengan keadaan penghidupan penduduk daerah Genuk ketika itu. Mereka
itu petani-petani miskin. Menurut keterangan Asisten
Wedana Genuk,
luas tanah petani di daerahnya rata-rata hanya sekitar 50 sampai 60
Ru, sehingga hasilnya tidak cukup untuk hidup sehari-hari. Untuk
menutupi kekurangan, mereka menjadi buruh pengangkut di Kota Semarang
dengan bermodalkan gerobag. Jadi mereka menjadi tukang gerobag bukan
hanya untuk mencari tambahan penghasilan, tetapi sungguh-sungguh
untuk mencukupi kebutuhan hidup. Berhubung dengan dilarang untuk
masuk ke Kota Semarang, berarti mereka kehilangan salah satu sumber
pokok mata pencaharian. Selain itu kemiskinan menyebabkan mereka
sukar untuk membayar pajak di Kota Semarang sebesar f 2,50, apalagi
pajak itu harus dibayar sekaligus.
Belajar
dari Sejarah, Membuat Manusia Menjadi Lebih Bijak
Ada
sebuah pendapat mengatakan belajar
dari sejarah, membuat manusia menjadi lebih bijak. Hal
itu benar adanya, karena manusia dapat mengambil hikmah dari
peristiwa sejarah di masa lalu sehingga dapat menjadi pedoman dalam
mengambil keputusan dan menjalani kehidupannya di masa kini. Hikmah
yang dapat diambil dari peristiwa sejarah ini adalah bahwa
faktor-faktor sosial dapat membuka jalan kepada siapapun untuk
melakukan sebuah gerakan perlawanan demi mencapai suatu tujuan atau
perubahan. Apalagi jika gerakan tersebut diselipi unsur mistis di
dalamnya, yang membuat para pelaku semakin percaya diri. Faktor di
ataslah yang salah satunya berperan dalam memicu terjadinya
perlawanan tukang-tukang gerobag terhadap aparat keamanan Kota
Semarang yang dianggap menjadi penghalang penghidupan petani-petani
miskin.
Peristiwa
sejarah ini setidaknya dapat menjadi sumber referensi bagi Pemda Kota
Semarang, pemerintah daerah lain, bahkan pemerintah pusat di Republik
ini untuk selalu mengoptimalkan usaha dalam mensejahterakan rakyat.
Di antaranya jangan terlalu membebani masyarakat dengan pungutan
pajak yang tinggi. Apalagi jika uang pajak yang telah dibayar
masyarakat dengan mengorbankan tetesan keringat, hanya digunakan
untuk hal-hal yang tidak pro rakyat atau yang lebih parah lagi untuk
mengisiperut
pejabat sendiri (korupsi
berjamaah). Jika hal itu masih dilakukan oleh para pemimpin di
Republik ini, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti akan terjadi
peristiwa serupa seperti di Kaligawe 1935, yakni perlawanan
rakyat terhadap pemerintah di
bumi pertiwi ini. Selamat
Ulang Tahun Kota Semarang.